YOGYAKARTA | LENSANUSA.COM. – Masyarakat penambang pasir di Sungai Progo yang tergabung dalam Kelompok Penambang Progo (KPP) menyampaikan aspirasinya ke DPRD DIY, Senin (14/4/2025).
Ketua Kelompok Penambang Progo(KPP) Yunianto kepada wartawan menyampaikan, bahwa saat ini KPP memiliki 98 kelompok sedangkan di setiap kelompok jumlahnya bervariasi ada yang 10 orang dan bahkan ada yang 50 orang.
Jumlah keseluruhan penambang ada sekitar 1000 orang, dan dari jumlah tersebut menggantungkan hidupnya dari menambang di progo,itu yang masuk anggota KPP, dan juga masih ada ratusan tenaga sebagai buruh (pengompreng), ungkapnya.
Dia berpendapat Regulasi Pertambangan di DIY saat ini dinilai idak adil danjuga diskriminatif. Pasalnya dalam pengurusan izin pertambangan, KPP terkesan berbelit, dilarang menggunakan alat mekanik, penarikan pajak oleh Pemkab meski izin penambangan belum dikeluarkan.
Sebenarnya, anggota KPP sebagai sudah mendapatkan izin menambang sejak 2019. Tetapi setelah 5 tahun masa berlaku izin tersebut habis, dan harus diperpanjang kembali.
“Teman-teman tidak ada yang memperpanjang izin lagi, karena ada kebijakan baru bahwa izin yang akan diterbitkan gak diberi alat rekomtek lagi, ini mendegradasi kelas penambang rakyat,” jelasnya.
Menurutnya regulasi pemerintah pusat dengan pemerintah DIY yang berlawanan menjadi salah satu penyebab mengapa pemenuhan hak-hak penambang rakyat terkendala.
“Pemda DIY jangan membuat regulasi bertentangan negara ini. Tata urutan undang-undang di bawahnya kan tidak boleh berlawanan diatasnya,” ujarnya.
Dia mengklaim dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara, menyebut penambang perorangan boleh menggunakan alat mekanik maksimal 20 PK.
Yunianto menyampaikan sampai saat ini sudah ada 18 kelompok penambang rakyat yang tidak memperpanjang izinnya.
Dalam waktu dekat diperkirakan jumlahnya akan bertambah lantaran pada 28 Mei 2025 mendatang 12 kelompok tambang rakyat akan habis izinnya.
“Tidak ada hasrat teman-teman perpanjang, kenapa? Perpanjang izin hanya diberi pacul senggrong, sama linggis. Sedangkan pengusaha (IUP) dikasih alat berat. Ini kan sangat jomplang antara penambang rakyat sama perusahaan,” tegasnya.
Wakil Ketua Komisi C DPRD DIY, Amir Syarifudin menambahkan, perbedaan persepsi pemahaman Undang-undang tentang penambang itu dahulu di Provinsi. Namun hal itu kembali ditarik ke pusat, dan dikembalikan lagi ke provinsi, itu harus ada sinkronisasi pemahaman. Termasuk terkait dengan alat.
“Sebetulnya penambangan ini bisa mengangkat pendapatan asli daerah, ketika di kelola dengan baik, bukan kepada oknum lainnya, Sebetulnya PAD ini yang kita kejar karena selama ini kalau di amati pendapatan asli daerah masih minim, Nanti saat rakerda akan kita bahas ujar Amir Syarifuddin Wakil ketua komisi C DPRD DIY. *SY.














