WAINGAPU | LENSANUSA. COM – Dugaan penyimpangan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di SMA Negeri 1 Waingapu terus bergulir dan menuai sorotan serius dari kalangan praktisi hukum. Indikasi pengadaan fiktif, penggandaan pencairan anggaran, dan penggunaan dana di masa libur pandemi dinilai berpotensi kuat melanggar Undang-Undang tentang Keuangan Negara dan Tindak Pidana Korupsi.
Junior Associate dari Akhlis & Rekan Law Office, Donatus Ngunju Manang, S.H., C.Med, menyatakan bahwa persoalan ini wajib menjadi perhatian serius mengingat Dana BOS adalah bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, Dana BOS secara hukum wajib dikelola secara transparan, akuntabel, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ini diatur jelas dalam Pasal 3 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menegaskan bahwa setiap penggunaan uang negara harus dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Donatus di Yogyakarta, Kamis (16/10).
Menurut Donatus, jika indikasi seperti pengadaan item fiktif dan kegiatan yang anggarannya dicairkan lebih dari sekali benar terjadi, perbuatan tersebut berpotensi melanggar ketentuan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur tentang penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Donatus menekankan pentingnya menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam menanggapi kasus ini.
“Siapa pun yang disebut atau diduga terlibat dalam persoalan ini, tetap memiliki hak untuk memberikan klarifikasi dan pembelaan diri. Mereka tidak dapat dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sebagaimana dijamin dalam Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” tegasnya.
Hal lain yang turut menjadi perhatian Donatus adalah adanya dugaan penghalangan terhadap kerja jurnalistik saat wartawan mencoba meminta klarifikasi kepada pihak sekolah.
“Hal ini harus ditanggapi secara serius, karena kemerdekaan pers dijamin dalam Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyebutkan bahwa pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi,” jelas Donatus.
Ia menambahkan, apabila terbukti ada pihak yang dengan sengaja menghalangi kerja pers, maka mereka dapat dikenai sanksi pidana. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Pers, setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja pers dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Untuk menanggapi persoalan ini, Donatus menilai langkah yang paling tepat adalah mendorong dilakukannya audit investigatif secara menyeluruh.
“Kami mendorong agar lembaga yang berwenang, seperti Inspektorat Daerah atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), segera melakukan audit investigatif. Hasil audit ini nantinya dapat menjadi dasar yang kuat bagi aparat penegak hukum untuk menentukan, apakah peristiwa ini memenuhi unsur pidana korupsi atau hanya sebatas pelanggaran administratif,” pungkasnya.
Donatus berharap jika terbukti ada pelanggaran hukum, proses pidana harus dijalankan secara tegas demi menjaga akuntabilitas penggunaan dana pendidikan di Indonesia. | Tim Redaksi