Sumba Timur | LENSANUSA.COM – Ketegangan sosial kembali mewarnai Kabupaten Sumba Timur. Ratusan masyarakat adat Rindi bersama komunistas-komunitas masyarakat adat di Sumba Timut dan aliansi mahasiswa dari berbagai organisasi, seperti GMNI Sumba Timur, PMKRI Cabang Waingapu, GMKI Cabang Waingapu, dan Persatuan Mahasiswa Timur, serta didukung oleh Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumba Timur, menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sumba Timur pada Senin, 14 Oktober 2024.
Aksi damai ini merupakan puncak dari kekecewaan masyarakat terhadap:
1. Ketidakseriuasan Pemerintah terhadap persolan Masyarakat Adat. Dimana terjadinya mangkraknya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat di DPR RI selama 10 Tahun. Oleh karena itu Masyarakat Adat Sumba Timur bersama Organisasi Mahasiswa Mendesak pemerintah untuk segera sahkan UU Masyarakat Adat.
2. Masyarakat Adat di Sumba Timur menolak pengaturan Hukum Yang Hidup dalam UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP. penggunaan istilah ‘hukum yang hidup’ dan bukan ‘hukum adat’ dalam batang tubuh KUHP. Istilah yang digunakan dalam Pasal 2 dan Pasal 601 masih ‘hukum yang hidup’, bukan secara eksplisit menyebutkan ‘hukum adat’. Selanjutnya, dengan pemberlakuan Pasal 2 KUHP baru ini merupakan pengambil alihan kewenangan Masyarakat Adat untuk menjalankan hukum pidana adatnya oleh negara. Pasal mengenai ‘hukum yang hidup’ masuk dalam Buku 1 dan Buku 2 KUHP. Artinya, pelaksana dari ketentuan hukum pidana ini adalah polisi, jaksa, dan hakim, bukan pemangku adat lagi.
3. Tahun 2018 Masyarakat adat Sumba Timur menyerahkan Draf Naskah Akademik dan Draf RanPerda tentang Pengakuan Kabihun sebagai Masyarakat Adat sumba Timur kepada DPRD Kabupaten Sumba Timut untuk di tindaklanjuti, namun hingga sampai sekarang belum juga di bahas di Badan Program Legislasi daerah.
4. Masyarakat adat mempertanyakan terkait perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV dan kerja sama perusahaan tersebut dengan PT Asiabeef Biofarm Indonesia (PT ABI). Masyarakat adat Rindi menilai bahwa langkah-langkah ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak mereka atas tanah ulayat yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Konflik agraria antara masyarakat adat Rindi dan perusahaan perkebunan telah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Beberapa pelanggaran yang seringkali terjadi meliputi manipulasi data dalam sosialisasi proyek, tindakan kekerasan oleh aparat keamanan, serta pengabaian terhadap hak-hak dasar masyarakat adat.
Konflik ini bermula pada tahun 1971 ketika PT Bina Mulia Ternak (PT BMT) mulai mengelola lahan di wilayah Rindi dengan dalih mengembangkan peternakan. Meskipun awalnya mendapat penolakan, masyarakat akhirnya menyetujui perjanjian pinjam pakai dengan sejumlah syarat yang tidak dipenuhi oleh perusahaan. Pada tahun 1999, ketika masa perjanjian berakhir, perusahaan kembali meminta perpanjangan. Setelah beberapa kali penolakan, masyarakat akhirnya terpaksa menyetujui perpanjangan karena adanya tekanan dari pihak pemerintah dan perusahaan.
Sejak saat itu, pengelolaan lahan berpindah tangan ke PTPN XIV dan kini perusahaan tersebut ingin menjalin kerja sama dengan PT ABI untuk memperluas usaha peternakan. Namun, masyarakat adat Rindi secara tegas menolak rencana tersebut. Mereka khawatir bahwa perpanjangan HGU dan kerja sama baru ini akan semakin memperparah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, serta mengancam kelestarian lingkungan.
Konflik agraria di Sumba Timur ini semakin kompleks dengan adanya kekhawatiran masyarakat adat terhadap pengaturan “hukum yang hidup” dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Masyarakat adat melihat bahwa pengaturan ini berpotensi melemahkan sistem hukum adat mereka dan membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam aksi demonstrasi, masyarakat adat Rindi tidak hanya menyuarakan penolakan terhadap ekspansi perusahaan, tetapi juga menuntut agar pemerintah membatalkan pengaturan “hukum yang hidup” dalam KUHP. Mereka berargumen bahwa pengaturan ini :
Mengancam otonomi hukum adat: Dengan memasukkan hukum adat ke dalam sistem hukum negara, kekhasan dan dinamika hukum adat dikhawatirkan akan terkikis.
Memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan: Proses penetapan hukum adat yang diatur dalam rancangan peraturan pemerintah dinilai terlalu sentralistik dan berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan pribadi.
Tidak mengakomodasi kearifan lokal: Hukum adat adalah produk dari kearifan lokal yang telah teruji selama berabad-abad. Dengan memaksakan standar hukum negara, kekhasan dan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat dikhawatirkan akan hilang.
Selain tuntutan terkait konflik agraria, masyarakat adat Rindi juga menyampaikan sejumlah tuntutan lain, antara lain:
- Penolakan perpanjangan HGU PTPN XIV dan kerja sama dengan PT ABI.
- Pengembalian tanah ulayat seluas 7.972 ha.
- Penindakan tegas terhadap aparat keamanan yang melakukan kekerasan.
- Pembatalan seluruh perjanjian yang terkait dengan perpanjangan HGU.
- Pengesahan peraturan daerah tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat.
- Pembatalan pengaturan “hukum yang hidup” dalam KUHP.
- Mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi UU Masyarakat Adat. |














