SURAKARTA | LENSANUSA.COM. – Dalam suasana duka mendalam pasca mangkatnya Pakoe Boewono XIII, gema sumpah sakral menggema di hadapan pusara sang ayahanda. Kanjeng Gusti Pangéran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro Jumeneng Pakoe Boewono (PB) XIV, Keraton Surakarta, Rabu, (5/11/2025). Berdasarkan informasi yang diterima PR Solo Raya dari Humas Keraton Surakarta, Putra mahkota, KGPAA Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram, mengucapkan ikrar kesetiaan dan kesanggupan untuk meneruskan takhta Kasunanan Surakarta.
Di hadapan keluarga besar Keraton, abdi dalem, sentana, dan masyarakat yang memadati pelataran Sasana Sewaka, ia mengucapkan sumpah yang menandai lahirnya raja baru.
“Mundhi dhawuh Sabda Dalem Sampéyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakoe Boewono Tigawelas lumantar Kintaka Rukma Kekeraning Sri Nata Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Ingsun Kanjeng Gusti Pangéran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Naréndra Mataram.
Ing dina iki, Rebo Legi, patbelas Jumadilawal tahun Dal sèwu sangangatus sèket sanga, utawa kaping lima Nopèmber rong èwu selawé, hanglintir kaprabon Dalem minangka Sri Susuhunan Keraton Surakarta Hadiningrat, kanthi sesebutan Sampeyandalem ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakoe Boewono Patbelas.”
Sumpah yang diucapkan di hadapan jenazah Sri Susuhunan PB XIII itu bukan hanya tanda penerimaan tanggung jawab, melainkan pula perwujudan adat yang telah turun-temurun dijaga dalam tradisi keraton.
Dalam sejarah panjang Keraton Surakarta, penobatan di tengah suasana duka bukan hal baru. Proses hanglintir kaprabon atau pengambilan tahta di hadapan jenazah raja sebelumnya telah terjadi di masa lalu, menandakan kesinambungan kepemimpinan dan keluhuran adat yang tak boleh terputus.
Tangis keluarga dan abdi dalem bercampur dengan getar kebanggaan, karena di tengah duka yang mendalam, Keraton Surakarta tetap memiliki penerus sah yang akan menjaga marwah dan martabat Karaton.
Sumpah di Hadapan Jenazah Ayahanda adalah Simbol Kesetiaan
Sebagai kakak tertua dari Sri Susuhunan PB XIV, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Timoer Rumbaikusuma Dewayani memberikan pernyataan resmi mewakili keluarga besar Karaton.
Ia menegaskan bahwa langkah sang adik untuk mengambil sumpah di hadapan jenazah ayahanda adalah bentuk penghormatan dan pelestarian adat yang sudah berjalan sejak zaman leluhur.
“Apa yang dilakukan Adipati Anom, Kanjeng Gusti Pangéran Adipati Anom Hamangkunegoro, adalah sesuai dengan adat Kasunanan. Dulu juga pernah terjadi di era para leluhur raja sebelumnya. Sumpah di hadapan jenazah ayahanda adalah simbol kesetiaan, bukan pelanggaran adat. Justru inilah cara kita menjaga kontinuitas kepemimpinan di Karaton,” ujar GKR Timoer dengan suara bergetar namun tegas.
Ia menambahkan, dengan diucapkannya sumpah tersebut, Keraton Surakarta tidak mengalami kekosongan kekuasaan. Segala prosesi adat dan tanggung jawab pemerintahan Karaton tetap berjalan sebagaimana mestinya, di bawah pimpinan raja baru, Sampéyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakoe Boewono XIV.
Babak Baru Pemulihan Marwah dan Memperkuat Posisi Keraton
Prosesi sakral ini menjadi momentum penting bagi masyarakat Surakarta, khususnya para abdi dalem dan pecinta budaya Jawa. Banyak yang menilai bahwa jumenengnya PB XIV menjadi babak baru bagi pemulihan marwah Keraton yang sempat diguncang berbagai polemik di masa lalu.
Dalam pandangan sejumlah tokoh budaya, kehadiran raja baru di usia muda membawa harapan untuk menghidupkan kembali tradisi, membuka ruang dialog budaya, dan memperkuat posisi Keraton sebagai pusat spiritual dan kebudayaan Jawa. Keraton Surakarta berdiri sejak 1745 dan telah melahirkan tiga belas raja sebelum kini memasuki masa kepemimpinan PB XIV. Dari generasi ke generasi, tradisi sumpah jabatan dan prosesi hanglintir kaprabon menjadi simbol bahwa Karaton selalu memiliki penjaga kelangsungan budaya, meski zaman terus berubah.
Kini, di tangan raja muda yang baru naik takhta itu, masyarakat Surakarta menaruh harapan besar: agar warisan luhur leluhur tetap lestari, adat tetap tegak, dan Karaton terus menjadi pusat peradaban yang menuntun nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. *SY.














